"Pernah membawa 20 ekor ayam keliling kampung tanpa ada satu pun yang laku. Pulangnya saya cuma bisa menangis di jalan."
Itulah sepotong kisah getir dari Henggi Saputra, pria muda asal Posorejo, Kademangan, Blitar, yang kini sukses menjalankan bisnis pakan ternak. Namun, siapa sangka, di balik senyum keberhasilan, dulu ia harus menelan pahitnya kegagalan berkali-kali?
Awal yang Tak Mudah: Dari Peternak Bangkrut Hingga Sopir Truk
Henggi memulai perjuangannya dari bawah. Lulusan SMK Islam Blitar ini sempat bekerja sebagai teknisi diesel dengan gaji hanya Rp500.000 per bulan. Merasa tak cukup, ia nekat beternak puyuh sebanyak 1.000 hingga 2.000 ekor, dengan modal dari orang tua. Namun, saat harga telur anjlok, usahanya pun tumbang. Rugi besar, bahkan sampai titik nol.
Tak ingin menyerah, Henggi merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai sopir truk. Gajinya lumayan, namun harus hidup di atas roda, jauh dari keluarga. Ia mengaku, hidup seperti itu membuat pikirannya campur aduk. Terlebih saat anak pertamanya lahir, ia tak bisa mendampingi istri karena masih dalam perjalanan kerja.
"Saya hanya bisa menangis dan merasa bersalah. Tapi kebutuhan hidup memaksa saya tetap bekerja."
Sempat Gagal Jualan Ayam: Pulang Hanya Bawa Luka
Setelah berhenti jadi sopir, Henggi mencoba ikut bapaknya berdagang ayam kampung. Modal semangat, ia keliling kampung naik motor CB tua, membawa 20 ekor ayam. Namun, satu pun tak ada yang laku.
“Seminggu saya keliling, Mas. Enggak ada satu ekor pun yang terjual. Saya pulang sambil menangis.”
Ayam dikembalikan ke bapaknya, modal pun kembali. Tapi semangatnya nyaris padam. Ia sempat kembali nganggur, kebingungan mau mulai dari mana.
Peluang Datang Lewat Katul: Dikenalkan Kakak Ipar ke Dunia Pakan Ternak
Saat itu, kakak iparnya yang berjualan katul (dedak padi) mengajak Henggi untuk bantu kirim ke peternak-peternak. Dari situ, benih harapan mulai tumbuh. Ia pun dikenalkan ke tiga pelanggan peternak dan mulai belajar dunia pakan ternak ayam petelur.
Dengan modal tersisa Rp10 juta, Henggi memberanikan diri membuka toko pakan ternak sendiri di bekas kontrakan kakaknya. Hari pertama? Cuma untung Rp16.000. Tapi ia tak patah semangat.
Perjuangan di Toko Sendiri: Pelan Tapi Pasti Menuju Sukses
Meski awalnya kecil, bisnis itu mulai menunjukkan hasil. Setelah sebulan, omzet harian naik jadi Rp80.000. Istrinya yang saat itu masih sibuk mengurus anak usia 6 bulan, belum bisa membantu menjaga toko. Jadi, Henggi harus terjun langsung ke lapangan.
Toko pakan ternaknya kini menjadi sumber penghidupan utama. Henggi bisa membahagiakan orang tuanya dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Pesan dari Henggi Saputra: Jangan Takut Gagal, Bangkit Lagi!
Kini, Henggi tidak hanya sukses secara finansial, tapi juga secara emosional. Ia mampu menjawab tantangan hidup dan membuktikan bahwa dari kegagalan dan air mata, seseorang bisa bangkit dan membangun sesuatu yang berarti.
“Orang tua saya sekarang tinggal minta tolong apa, saya siap. Minta uang, saya kasih. Minta antar, saya berangkat.”
Penutup: Dari Jalanan ke Gudang Pakan
Kisah Henggi Saputra adalah cermin nyata bahwa kesuksesan tidak datang secepat membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan keberanian untuk memulai, kegigihan untuk bertahan, dan kerendahan hati untuk belajar dari kegagalan.
Jika kamu merasa hidupmu berat, ingatlah Henggi yang pernah keliling kampung bawa ayam tanpa laku satu pun—tapi kini jadi pengusaha pakan ternak yang mandiri.